Selasa, 04 Desember 2012

QURAN DAN KETELADANAN MUHAMMAD SAW




 Rujukan:
QS 3: 159 “Fabimaa rahmatim minallaahi lintalahum, walaw kunta fadhdhan ghaliizaal qalbi, lan faddu min hawlika, fa’fu ‘anhum waghfirlahum, wa syaawirhum fil amri, fa idzaa azzamta wa tawakkal ‘alallaah ....”
QS 48: 29.“Muhammadur rasuulullah, walladziina ma’ahu asidda’u ‘alal kuffaar, ruhamaa’u bainahum....”
Muhammad saw adalah teladan terbaik semua manusia dalam mengarungi hidup (semestinya begitu). Dia bukan saja teladan bagi muslim, tetapi bagi umat nonmuslim. Sepanjang usianya yang 63 tahun, hidupnya dicurahkan untuk kepentingan umat manusia agar manusia dapat mengambil pelajaran dan sekaligus meneladani hidupnya. Kata-kata kunci yang representatif dari semua itu adalah: meneladani dia berarti meraih kesuksesan dunia dan akhirat. Frasa “Islam rahmatan lil’alamin” yang kita gaungkan sebenarnya adalah representasi wahyu dan firman Allah yang mengutus  dan sekaligus memuji dia sebagai rasul dengan kalimat yang tegas dan lugas, “Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil’aalamiin”. Lihat QS 2:119.
Muhammad saw sebagai rasul itu memiliki tugas berat namun mulia: mengajak manusia kepada jalan dan keridoan Allah; bil haq (mengusung yang haq, yakni Quran), menyampaikan semua pesan yang haq seutuhnya;  mubasysyiran (membawa berita gembira tentang ganjaran kebaikan bagi manusia takwa selama mengabdi di dunia dan sorga yang bakal dihuni di akhirat); siraajam muniiraa (suluh yang terang benderang); dan nadziiran (menyampaikan peringatan keras tentang balasan pedih bagi manusia pembangkang).
Jika kita mencermati dengan jernih wahyu Allah tentang tugas kerasulan Muhammad saw di atas, kayaknya semua hal keteladanan terbaik yang dipresentasikan oleh dia selama hidupnya itu, hampir mustahil akan terjadi hal-hal buruk dalam kehidupan manusia sejak Islam dinyatakan sebagai agama yang diridoi Allah lima belas abad yang lampau.
Kebenaran yang diusung Muhammad saw sehubungan dengan wahyu Allah di atas di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, manusia tetaplah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Janganlah kita melihat manusia karena sesuatu yang tidak biasa terjadi dikatakan aneh, ajaib, hebat, mulia, amat mulia, manusia suci, dsb. Semua yang terjadi di luar kebiasaan manusia biasa semata-mata karena Allah Mahakuasa dengan kalimat, “kun fayakun”. Misalnya: Adam dan Hawa ada tanpa ayah dan ibu; Isa ibnu Maryam/Isa Al Masih ada tanpa ayah.
Siapapun manusia di luar Adam, Hawa, dan Isa Al Masih adalah manusia biasa yang lahir hasil buah cinta kasih ayah dan ibu. Kita semua manusia, termasuk juga Muhammad saw. Bayi Muhammad lahir dari rahim seorang wanita, proses kelahirannya sama dengan kita, tumbuh besar persis sama dengan kita, menjalani hidup normal sama dengan kita, dan wafat pun sama dengan kita (hindari berita cerita bualan dari mulut ke mulut atau dongeng ala animisme-Hindu ala orang jahiliah bahwa dia lahir begini-begono, hidupnya begini-begono, air ludah dan reaknya sakti bertuah bisa menyembuhkan orang sakit atau bisa melepuhkan kulit musuh, dsb.)
Kedua, derajat manusia itu sama. Mau orang Arab, mau orang Indonesia, orang India, orang Jerman, atau orang mana saja kek, sama derajatnya. Mau orang kaya, mau orang miskin, mau konglomerat, atau hidup pas-pasan kek, sama saja derajatnya. Mau keturunan raja kek, keturunan nabi kek, keturunan wali kek, keturunan kiai kek, keturunan bangsawan kek, keturunan presiden kek, keturunan pemulung kek, sama derajatnya. Nggak ada orang suci dan nggak ada orang nista. Nggak ada orang suci melahirkan bayi suci dan nggak ada orang nista melahirkan bayi haram jadah! Allah memanggil nabi dengan panggilan “Hai Muhammad”. Nabi meminta para sahabat memanggilnya dengan panggilan “Muhammad anak Abdullah” atau “Wahai Rasulullah” dan sama sekali tidak merendahkan derajatnya. Tak ada ceritanya Nabi saw meminta para sahabat memanggilnya dengan “Sayyidina Muhammad” atau “Tuanku Muhammad” atau “Baginda Rasul” dengan dalih cinta dan memuliakan. Nabi saw tidak pernah meneladankan kehidupan feodal ala kerajaan dalam segala hal. Atribut-atribut “baginda”, “tuanku”, “duli tuanku” “patik” atau “hamba” adalah murni atribut feodal yang bertentangan dengan ajaran Islam dan keteladanan Nabi saw. Yang benar adalah, semua manusia di mata Allah sama. Semua manusia baik yang meneladani nabinya akan disayang-Nya, dan semua manusia fasik yang membangkang dan tidak meneladani nabinya akan dibenci-Nya. Silakan menafsirkan apa wujud Cinta Allah kepada hamba-Nya dan wujud benci Allah. Indikatornya mudah dilihat dan dirasakan oleh indera, akal, dan hati.
(Manusialah yang menciptakan perbedaan melalui atribut-atribut: bangsawan, darah ningrat darah biru, gusti-kawula, mulia-nista/hina dina, manusia suci manusia nista, keturunan nabi dan bukan keturunan nabi, kuburan keramat kuburan angker. Percayalah, semua atribut diskriminasi buatan manusia itu fana/sementara saja. Kalau pun ada paling juga tinggal sisa di sudut-sudut/marginal kehidupan masyarakat modern. Masih adakah anak berdarah bangsawan feodal di Jawa misalnya yang lahir tahun setelah tahun 70-an , menggunakan gelar “Raden, Raden Mas, Raden Ayu” di depan namanya? Kayaknya mereka sudah tidak bangga atau pede lagi deh! Apa lagi kalau berprofesi cuma sebagai kondektur bis atau tukang bakso keliling. Majikan zaman sekarang sudah tak suka kalau pembantunya memanggil dengan gelar “Ndoro”Inilah model tradisi lokal yang mudah lekang karena matahari dan mudah lapuk karena hujan. Begitu pun orang dari daerah Bima, NTB. Atribut “Ruma”, “Tato” atau “Dae” sudah tergerus oleh derasnya arus perubahan zaman. Udah nggak ngaruh kalee!)
Ketiga, Muhammad saw melakukan tugas kerasulan/kenabian itu dengan kebenaran (Quran, 6.236 ayat dalam 114 surat, ideal, teoritis, dan praktis universal untuk manusia, tidak ada ayat mulia ayat kurang mulia, tidak ada ayat makbul ayat mardud, tidak ada ayat jantung ayat ceker, tidak ada ayat sakti ayat mandul, tidak ada ayat penting ayat genting. Semua ayat berkedudukan sama), sempurna (utuh, tak pantas ditambah-tambah dengan apa pun dan dengan dalih apa pun oleh siapa pun), yang harus/wajib dijadikan pedoman (menuntun manusia kepada jalan ketakwaan), untuk segala masa/zaman/era sepanjang kehidupan manusia di dunia. Semua ayat Quran, 6.236 ayat itu adalah pedoman hidup manusia yang mau hidup sentosa dunia dan akhirat jika dipahami, dihayati, dan diamalkan. Muslim yang hidup pada zaman modern, kita-kita ini, kalau mau tahu dan siap meneladani Muhammad saw, cukup memahami, menghayati, dan mengamalkan Quran karena akhlak Muhammad saw itu identik dengan Quran.
{(Lagi-lagi ulah manusia (muslim yang mempersempit dirinya dengan memegang mazhab alias fanatik mazhab/sempalan tertentu) yang mendiskriminasikan sesama ayat; Jadilah Surat Fatihah menjadi bacaan spesial sebagai media perantara dari ahli waris untuk “dipaket ala pos ala Tiki” yang konon katanya kiai bahwa Allah akan menjadikan bacaan itu sebagai bonus bagi para ahli kubur. Jadilah Surat Yasin sebagai “jantungnya” Quran. Kalau ada ayat “jantung”, kira-kira ayat “ceker” ada nggak? Jadilah Surat Yasin selalu dibaca berulang kali atau berbilang ganjil (katanya Allah lebih suka yang ganjil daripada bilangan genap. Aya-aya wae!) dan Surat Yasin dijadikan bacaan spesial mirip jampi-jampi yang kudu dibaca tiap malam Jumat. Jadilah Surat Al Mulk (QS 67) dijadikan Tabaruk/pembawa keberkahan karena mungkin diawali dengan kata “Tabaarakalladzii ....” dan dikatakan akan membawa berkah kalau dibaca bolak-balik berulang tiga atau tujuh kali. Jadilah bilangan ganjil 1, 3, 7, 17, 33 dan 99 menjadi angka favorit mirip angka yang sering dianjurkan oleh para dukun lotre. Jadilah ayat Qursyi (QS 2:255) menjadi ayat komat-kamit bibir untuk penolak bala dan ditempelkan di atas pintu. Jadilah QS Maryam (19) menjadi buah bibir komat-kamit buat ibu hamil agar makbul doanya memperoleh anak perempuan seperti Maryam (ibunda Isa Al Masih). Jadilah Surat Yusuf (QS 12) menjadi surat buat hiasan komat-kamit bibir seorang ibu yang sedang hamil karena berharap anaknya kelak berkelamin laki-laki berparas rupawan seperti Nabi Yusuf as. Jadilah Surat Al Falaq dan An-Naas (QS 113, 114) sebagai buah bibir berkomat-kami agar terhindar dari godaan syetan atau kerasukan. Aduhai! Sesempit itukah wahyu Allah berfungsi? Serendah itukah ayat Quran wahyu Allah ditempatkan? Sungguh menyesatkan memperlakukan ayat Quran secara diskriminatif. Na’uudzubillahi mindzaalik!)}
Saya pernah bertanya kepada dua orang ibu hamil. Ibu yang satu sering sekali membaca QS Yusuf dan ibu hamil yang satu lagi sering membaca QS Maryam. Jawaban keduanya senada, menurut kata ustaz/guru ngaji di majelis taklim, agar doanya dikabulkan, melahirkan seorang bayi tampan lelaki setampan Nabi Yusuf as dan melahirkan seorang bayi perempuan yang bakal mulia terhormat seperti Maryam ibu Nabi Isa as. Niat dan amaliah nggak connected gitu loh! Niat mau sms-an mesra dengan WIL/PIL yang dipencet/disentuh nomor istri/suami, ya yang terjadi badai tsunami!
Kedua ibu muda yang sedang hamil itu mah tidak salah karena mereka itu kan muslimah yang awam. Yang salah itu ya ustaz/guru ngajinya. Ilmunya selebar daun kelor ya ngajarnya cuma ngidul ngalor. Semestinya merujuk kepada Quran yang jernih bening malah merujuk ke kitab kuning. Ilmu pengetahuan yang tumpul majal semestinya menjadi lancip meruncing malah menjadi melenceng di lereng terjal miring yang cuma menunggu waktu jatuh terpelanting.
Tidak mengherankan muslim yang awam puluhan tahun belajar Quran, tetapi pengetahuan, pemahaman, dan amaliah Islam-nya stagnan berjalan di tempat tak ada kemajuan. Bagaimana mau maju, wong yang dituju cuma wujud lahiriah kuantitas jemaah berbilang banyak yang jauh dari output kualitas? Bagaimana mau maju, wong majelis taklimnya cuma pamer atribut busana bertuliskan nama majelis doang? Bagaimana jemaah mau tambah cerdas, wong yang dikejar cuma pengembangan fisik lahiriah mesjid yang “wah” bagaikan monumen menandingi kemewahan kuburan Shah Jehan, isteri Sultan Akbar, raja terakhir Dinasti Monghul di Agra, India. Ingin bukti? Mesjid “Kubah Emas” Hjh. Dian Mahiri di Meruyung, Sawangan, Depok, adalah salah satu bukti. Orang berdatangan ke mesjid itu, dari segala penjuru, bukan untuk menuntut ilmu, melainkan biar salatnya lebih khusuk dan berkah rezeki bisa melimpah seperti rezekinya Hjh. Dian Mahiri yang punya duit banyak kagak ada habisnya. Selain dari itu, tentu saja melancong, piknik, dan travelling sambil bergumam mengagumi kemewahan mesjid. Apa yang didapat mereka? Judul yang tepat dari buah mulut mereka adalah, “Kemewahan Mesjid Rumah Allah ada di Meruyung”.
Bukan mustahil akan ada manusia dua atau tiga generasi di belakang kita kelak, akan menjadikan mesjid itu sebagai tempat “umroh”. Bukankah sudah banyak contoh biro travel berlabel umroh (ke Masjidil Haram di Mekkah tentunya; tak ada umroh di tempat lain), menambahi wisata ke Masjid Nabawi di Madinah, lalu ditambahi tujuan ke Masjidil Aqsha di Palestina, lalu berganti haluan ke Andalusia dan Qordoba di Spanyol, ke Istambul di Turki, ke Mesjid Aya Sofia di Tirana, Bulgaria, sampai ke Mesjid Soeharto di Sarajevo, Bosnia Herzegovina.
Karena ada lebel “umroh” makanya banyak yang ikut bergabung, tambahan lagi punya uang berlebih, walaupan berumroh sudah yang kesekian kali. Sebenarnya, inti persoalan doyan melakukan umroh (padahal perkara sunnah saja dan manusia teladan kita, Muhammad saw, berumroh sekali saja selama hidupnya. Padalah jarak Medinah-Mekkah itu cuma 405 km saja) karena keawaman dalam memahami ajaran Islam teori dan praktik.
Umroh itu akan tambah diminati oleh para jemaah yang awam karena dalam iklannya mencantumkan nama kiai beken sebagai komisaris atau penyelenggara atau pembimbing para jemaah beribadah. Lebay banget! Umroh aja pake pembimbing. Padahal kerjaan kiai pembimbing itu cuma nuntun jemaah melafal doa-doa doang! Kiainya nggak bayar alias gratis alias free. tidaklah aneh kalau ada kiai begitu lebay membanggakan diri bisa berhaji dan berumroh sudah puluhan kali. Berhaji dan berumroh berkali-kali itu asosial alias berhaji syetan. Inilah indikator wujud bedanya kiai dan ulama. Banyak kiai yang tidak tunduk kepada Allah dan tindakannya jauh dari teladan Nabi saw, sementara ulama itu adalah hamba Allah yang tunduk patuh kepada Allah dan selalu meneladani Nabi saw selama hidupnya.
Ya, kalau jemaah memang tetap awam dan stagnan tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena mereka tidak diajarkan memahami Quran, tetapi diajarkan bagaimana melatih bibir membaca Quran dengan fasih agar berpahala (perintah Iqra’ dimaknai fasih membaca Quran verbalistis).
Kalau umat Islam menjauhi visi dan misi ajaran Quran, menomorduakan menomortigakan Quran sebagai rujukan, menomorsatukan kitab-kitab hadits dan kitab-kitab kuning,  dan menjauhi teladan Nabi saw,  kita mesti bertanya, Quo vadis umat Islam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar